Triandika Weblog Rotating Header Image

Family

Cerita Hamil dan Melahirkan di Aberdeen

Cerita ini saya bagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama berjudul “Hamil dan Pemeriksaan Rutin”, bagian kedua berjudul “Saat Melahirkan Tiba” dan bagian ketiga berjudul “Senangnya Punya Health Visitor”. Tulisan ini saya tujukan untuk teman-teman yang diberi anugerah kehamilan di Aberdeen, semoga cerita pengalaman ini bisa bermanfaat. Dan juga untuk Aidan, mujahid yang saya cintai. “Bunda yakin kisah ini kelak akan sampai padamu, Nak.”

Bagian pertama : Hamil dan Pemeriksaan Rutin

7 September 2014 pukul 12 siang adalah hari pertama kami di Aberdeen. Dingin, itulah kesan pertama saya ketika datang. Jelas saja saat itu di Aberdeen sedang musim gugur. Dijemput oleh seorang teman, kami lalu meluncur ke flat yang akan menjadi rumah kami selama setahun. Keesokan harinya secara bertahap kami mulai menjalani aktivitas rutin.

27 September 2014 adalah hari pertama saya haid dan ternyata itu menjadi haid yang terakhir karena di bulan Oktober tamu bulanan itu tidak muncul lagi. Test Pack menunjukkan 2 garis merah. Alhamdulillah saya positif hamil. Saya lalu menelepon GP dan memberitahu bahwa saya terlambat datang bulan. Mereka kemudian membuat jadwal pertemuan saya dengan midwife. Oya untuk membuat appointment pastikan sebelumnya kita (dan keluarga) sudah terdaftar di GP. Kami sendiri daftar ke Woodside Medical Centre (GP yang paling dekat dari rumah) sekitar seminggu setelah tiba di Aberdeen.

1 Desember 2014 awal jumpa dengan midwife di GP. Sarah Humphrey namanya. Sarah mewawancarai saya dengan beberapa pertanyaan seputar data diri dan keluarga serta riwayat kehamilan sebelumnya. Usia kandungan saya saat itu berdasarkan perhitungannya adalah 9w 1d. Usai wawancara saya dibekali buku panduan kehamilan “Ready, Steady, Baby” dan semacam buku medical record pre dan post natal yang memuat segala record kesehatan saya selama hamil dan melahirkan. Tak lupa Sarah menuliskan jadwal saya ke GP untuk konsultasi dengan midwife serta kapan saya harus ke Aberdeen Maternity Hospital untuk scan (USG).

ready steady baby

15 Desember 2014 adalah appointment kedua saya dengan Sarah. Darah dan urin saya diperiksa. Parameter yang diperiksa adalah Full Blood Count, Virology, HBa1C, HIV, Rubella, Sifilis, Hep-B, Sickle Cell Anaemia, Thalassemia dan pH urin. Ternyata yang diperiksa cukup banyak ya. Hasil tes darah tidak diserahkan kepada pasien, jadi pasien hanya akan dihubungi jika ada yang ganjil dengan hasilnya. Saya sendiri sempat dihubungi satu kali karena Hb saya rendah pada pemeriksaan darah ketiga di rumah sakit. Sejak saat itu setiap pertemuan dengan midwife, saya diminta untuk mengumpulkan urin untuk diperiksa pH nya. Terhitung sejak 1 Desember hingga melahirkan, total pertemuan saya dengan midwife hanya 7 kali. Alhamdulillah selama kehamilan ini saya sehat dan tidak sampai ‘ngidam’, bahkan masih bisa keliling 9 negara Eropa ketika usia kandungan 28 minggu. Alhamdulillah..

6 Januari 2015 adalah jadwal scanning pertama di Aberdeen Maternity Hospital. Scanning dilakukan oleh sonographer di lantai pertama lalu hasilnya kami bawa ke lantai kedua untuk dikonsultasikan dengan dokter spesialis kandungan. Berbeda dengan di Indonesia dimana scan dan konsultasi hasil, keduanya dilakukan oleh obgyn. NHS (National Health Service) UK umumnya hanya menganjurkan scanning sebanyak 2 kali yaitu pada saat usia 10-12 minggu dan 20 minggu. Namun mengingat saya mempunyai riwayat keguguran di kehamilan kedua maka saya dianjurkan dokter untuk scan 4 kali yaitu pada usia 15, 25, 30 dan 36 minggu. Mengapa dianjurkan? Karena disini pasien berhak memilih untuk tidak di-scanning. Oya, peraturan di Aberdeen Maternity Hospital adalah pasien dilarang menanyakan jenis kelamin janin saat di-scanning. Jadi kalau penasaran ingin tahu jenis kelamin calon bayi, maka kita bisa scanning di private clinic yang tentunya berbayar. Entah apa dasar dari peraturan ini, padahal rumah sakit di Glasgow saja masih membolehkan, padahal sama-sama di Scotland. Karena jenis kelamin janin masih rahasia maka saya dan Mas Trian menyiapkan 2 nama untuk bayi laki-laki dan perempuan. Dan kami sepakat kalau nama bayi kami nanti baik laki-laki atau perempuan harus mengandung unsur Scottish..hehe.

hospital

29 Juni 2015 adalah due date saya berdasarkan perhitungan midwife dengan siklus 28 hari. Sarah sudah membuatkan appointment lagi tanggal 30 Juni jika due date saya lewat. Benar saja saya harus bertemu Sarah lagi karena hingga tanggal 30 Juni pagi kontraksi belum terasa. Saya ditawari untuk di sweep yaitu pemeriksaan internal dimana midwife akan memasukkan jarinya ke dalam servik, dengan begitu membran kantung bayi akan terpisah dengan servik. Pemisahan ini akan menghasilkan hormon prostaglandin yang akan memicu kontraksi. Saya pikir daripada menunggu hingga minggu ke 42, lebih baik saya terima saja tawarannya, toh aman juga kan.

Bagian kedua : Saat Melahirkan Tiba

Tanggal 1 Juli 2015 bertepatan dengan 14 Ramadhan 1436 H sekitar pukul 1 dini hari, ketuban saya ‘rembes’. Oh mungkin ini adalah reaksi setelah kemarin midwife melakukan pemeriksaan internal. Saya duduk di lantai menunggu kontraksi datang sambil menemani Mas Trian sahur. Tapi hingga subuh (sekitar jam 2) tidak ada kontraksi sama sekali. Akhirnya saya berganti pakaian, berwudhu dan sholat berjamaah dengan Mas Trian.

Usai sholat subuh saya coba berbaring, mengumpulkan tenaga untuk melahirkan yang mungkin saja terjadi hari itu. Namun meski mata terpejam, saya tetap tidak bisa tidur. Kontraksi lalu muncul jam 4 pagi, rutin tiap 3 menit sekali. Saya biarkan Mas Trian tidur karena dia belum sempat tidur sejak isya dan tarawih. Puasa di musim summer membuat pola tidur kami berubah. Jam 5 saya bangunkan Mas Trian dan memberitahunya kalau kontraksi sudah mulai rutin dan saya rasa sebaiknya kami ke hospital jam 6 nanti.

Mas Trian menelepon Labour Ward Aberdeen Maternity Hospital dan menceritakan kondisi saya. Mereka bertanya berapa menit sekali saya kontraksi, berapa lama, apa saya masih bisa menahan rasa nyeri. Mungkin jika masih bisa tahan atau kontraksi masih lemah saya belum diizinkan ke rumah sakit. Tapi mengingat saya sudah pecah ketuban sejak semalam dan kontraksi mulai rutin 3 menit sekali, akhirnya pihak rumah sakit mengizinkan saya untuk datang.

Jam 6 pagi taksi datang. Kami antar Safa terlebih dahulu ke rumah Mbak Lita, salah seorang teman sekaligus tetangga di Aberdeen. Sudah sejak lama kami memberi tahu Safa kalau bunda nanti melahirkan, Safa akan diantar jemput sekolah oleh Mbak Lita dan menginap di flatnya. Kebetulan anak-anaknya memang akrab dengan Safa, sehingga kami tidak terlalu khawatir dengan proses adaptasi Safa selama menginap disana.

Setelah mengantar Safa, taksi membawa kami ke rumah sakit. Begitu tiba di rumah sakit, kami diantar langsung ke ruang bersalin oleh seorang midwife jaga. Dia mewawancarai saya seperti mereka mewawancarai Mas Trian. Lalu dia memeriksa tekanan darah dan suhu badan saya serta denyut jantung janin. Dia kemudian mengatakan bahwa sebentar lagi ada pergantian bidan jaga. Saya akan diperiksa lebih lanjut oleh Amanda, midwife yang bertugas pada shift berikutnya.

Jam 8 pagi, Amanda dan salah seorang Midwife student dari RGU (Robert Gordon University) memeriksa saya. Seperti biasa mereka memeriksa tekanan darah, suhu badan dan juga denyut jantung janin. Saya bertanya kapan pemeriksaan internal dilakukan, maksudnya periksa ‘pembukaan’. Karena biasanya di Indonesia bidan akan memeriksa status ‘pembukaan’ tiap beberapa jam sekali. Amanda kemudian memeriksa status pembukaan saya. Masih bukaan 1 jawabnya. Arrggh, padahal sudah nyeri tapi masih bukaan satu. Rasa sakit makin bertambah setelah Amanda mengatakan bahwa pemeriksaan berikutnya 4 jam lagi. Tapi saya tidak diminta pulang. Saya diizinkan tinggal dan menggunakan berbagai fasilitas di ruang bersalin. Saya pilih birthing Ball karena katanya duduk sambil bergoyang-goyang di birthing ball membantu mempercepat proses persalinan.

Waktu terasa begitu lambat. Setiap jam midwife student memeriksa kondisi saya dan janin. Sampai suatu saat saya merasa begitu sakit lalu meminta gas and air sebagai pain killer. Agak asing memang karena dua kali pengalaman melahirkan di Indonesia saya tidak pernah diberi pain killer. Dengan teratur saya lakukan inhale dan exhale dengan bantuan selang gas and air sambil perlahan melafazkan takbir. Ternyata gas and air ini hanya mampu mengurangi rasa sakit beberapa menit saja. Lalu saya pindah ke tempat tidur dan berharap dengan posisi berbaring rasa sakit akan berkurang. Tapi justru berbaring membuat saya lebih sakit dan keinginan untuk mengejan semakin kuat. Saya belum berani mengejan mengingat pemeriksaan pembukaan yang kedua belum dilakukan. Takutnya alih-alih mengejan, perineum saya malah sobek atau kepala janin belum turun. Tapi keinginan mengejan sudah tidak bisa ditahan lagi. Saya lantas mengambil posisi kneeling atau berlutut di atas tempat tidur sambil menyandarkan kepala dan tangan saya ke bantal. Posisi melahirkan ini adalah hasil konsultasi saya dengan midwife community selama hamil.

Midwife student yang melihat saya sudah mengambil posisi kneeling segera memanggil Amanda. Mereka kemudian bergegas menyiapkan segala perlengkapan melahirkan. Tanpa pemeriksaan status pembukaan yang kedua saya langsung mengejan begitu kontraksi tiba. Mas Trian mengusap punggung saya perlahan. Entah berapa kali saya sudah mengejan tapi kepala bayi belum mau keluar. Durasi kontraksi begitu singkat sehingga meski kontraksi telah usai, nafas saya untuk mengejan masih bersisa. “Listen to your body, Dika”, tiba-tiba Amanda mengingatkan, membuat saya tersadar bahwa melahirkan adalah komunikasi antara wanita dengan tubuhnya, hanya ia yang tahu kapan saat yang tepat untuk mengejan dan kapan berhenti. Saya tatap mata Mas Trian lalu meminta maaf. Bagi saya melahirkan selalu menjadi momen yang sangat emosional. Dan saya bahagia karena setiap momen itu Mas Trian selalu ada di samping saya.

Untuk kontraksi yang kesekian kalinya saya menarik nafas dalam lalu mengejan dengan kuat hingga lahirlah bayi kami ke dunia pada pukul 10.41 BST (British Summer Time). “Alhamdulillah, laki-laki Bunda”, ucap Mas Trian. Air mengalir pelan dari sudut mata sendunya. Dia bahagia. Begitu pun saya.  Terimakasih ya Allah, telah menghadirkan Aidan, bayi laki-laki mungil di tengah keluarga kami. Aidan Shifanan Asmoro, itulah nama yang kami pilih jika yang lahir adalah bayi laki-laki.

IMG_20150701_114417

Seperti prosedur rumah sakit pada umumnya, bayi yang baru saja lahir diperiksa nilai APGAR nya lalu dibersihkan secukupnya kemudian diletakkan di atas perut ibunya untuk IMD dan juga menjaganya agar tetap hangat. Selama Aidan IMD, Amanda menjahit perineum saya yang robek derajat 2. Gas and air saya gunakan untuk mengurangi rasa sakit meski sebelum dijahit saya sudah mendapat bius lokal. Selesai dijahit, Aidan kemudian ditimbang beratnya dan diukur panjangnya. Hasilnya berat 3,340 kg dan panjang 53 cm.

aidan

Sekitar 1 jam pasca melahirkan saya berjalan ke kamar mandi untuk bersih-bersih diri dan berganti pakaian. Masih di ruang bersalin Aidan dibersihkan kembali dan dipakaikan baju oleh midwife student. Setelah bersih baru Mas Trian mengadzaninya.

Jam 2 siang, dua dokter anak datang ke ruang bersalin untuk memberi Aidan vitamin K dan imunisasi BCG. Amanda mengatakan bahwa dokter anak yang lain akan datang lagi sekitar jam 5 sore untuk memeriksa status kesehatan Aidan. Sambil menunggu, saya gunakan waktu untuk beristirahat dan memberi kabar kelahiran Aidan kepada keluarga dan teman-teman. Jam 5 sore seorang dokter keturunan India datang dan memeriksa kondisi Aidan. Semua terlihat normal katanya sehingga saya dan Aidan diperbolehkan untuk pulang. Saya dan Mas Trian cukup kaget karena kami sudah mempersiapkan diri untuk menginap di rumah sakit namun ternyata cukup 12 jam saja kami di rumah sakit. Saya bersyukur bisa pulang karena tidak perlu berpisah dengan Mas Trian dan bisa bertemu lagi dengan Safa setelah melahirkan. Peraturan di Aberdeen Maternity Hospital adalah pasien tidak boleh ditunggui hingga lewat malam, meski tamu itu adalah suami sendiri.

Sebelum pulang, Amanda memberi kami beberapa dokumen penting, diantaranya adalah dokumen untuk aplikasi birth register ke city council dan dokumen Transfer of Care from Hospital to Community yang berisi rekam medik saya dan Aidan selama proses melahirkan. Setelah serah terima dokumen tak lupa kami berfoto bersama Amanda serta midwife student yang begitu sabar dan gesit membantu saya melahirkan. Thanks a lot, Amanda.

bunda ayah

Bagian ketiga : Senangnya Punya Health Visitor

“Jangan keluar rumah dulu sebelum 40 hari ya. Kaki jangan ditekuk, harus selonjor. Kaki jangan gantung.”, nasehat ibu mertua saya di ujung telepon. “Mas Trian tolong bilang ke Dika jangan banyak kerja dulu. Kelihatannya aja Dika sehat tapi ‘dalamnya’ masih luka”, kalau ini nasehat ibu saya pada Mas Trian. Ya begitulah orang tua, meski bahagia mereka tentu khawatir dengan anaknya yang melahirkan di luar negeri, jauh dari keluarga besar mereka di Indonesia. Saya pun sempat khawatir  dan bertanya pada diri sendiri ‘apakah saya mampu?’. Tapi melihat pengalaman teman-teman yang hamil dan melahirkan di luar negeri, saya menjadi yakin kalau saya insya Allah bisa menjalaninya. Alhamdulillah Mas Trian juga tinggal menulis tesis dan tidak ada jadwal kuliah rutin jadi bisa optimal membantu pekerjaan rumah tangga. Safa juga terlihat senang dengan kehadiran Aidan. Dia belajar menenangkan adiknya ketika menangis, bernyanyi dan menciumnya setiap saat. Meski tetap saja saya harus menyiapkan banyak ide permainan untuk Safa, mengingat saat itu dia masih libur sekolah.

aidan safa

2 Juli adalah kunjungan pertama midwife ke rumah kami. Di Scotlandia (atau mungkin juga di seluruh UK), dalam rentang 10 hari pasca melahirkan, midwife akan datang ke rumah untuk memeriksa kesehatan ibu dan bayi. Midwife mengukur berat badan Aidan dan mewawancarai saya seputar nifas, breastfeeding, frekuensi ganti popok dan lain-lain. Selama 10 hari, midwife datang berkunjung sebanyak 4 kali. Setelah itu giliran Health Visitor (HV) yang bertugas memantau perkembangan saya dan Aidan. HV bertugas untuk mensupport dan mengedukasi keluarga pasca kelahiran sampai 5 tahun usia anak.

Health Visitor kami bernama Sheena Wilson. Dia ramah dan informatif. Dia menjelaskan tentang tugasnya kepada kami. Dari ceritanya saya jadi tahu bahwa HV sebenarnya adalah nurse atau midwife  yang telah menjalani program training ‘health nursing/health visiting’. Sheena sendiri sudah 6 tahun bekerja sebagai midwife community dan beberapa tahun bekerja di rumah sakit sebelum akhirnya memutuskan untuk menjadi health visitor. Alasannya adalah midwife community hanya memantau pasien selama hamil dan melahirkan, sedangkan HV bertugas memantau pasien beserta keluarganya selama 5 tahun. Kami senang sekali setiap Sheena datang karena itu artinya kami jadi tahu berat badan Aidan terbaru ..hehe. Dan setiap ada permasalahan dengan perkembangan kesehatan Aidan kami punya partner ahli untuk sharing. Andai saja setiap keluarga di Indonesia memiliki HV tentu masalah-masalah seputar pengasuhan anak sedikit demi sedikit dapat teratasi. Mudah-mudahan saja, suatu saat nanti di Indonesia.

aidan 2

Hi world from our son

IMG_1751

Hi world, my parent gave me a name, Aidan Shifanan Asmoro. Aidan means little fire, courage. It is a Scottish name, a land where I took my first breath. Shifanan means curing or healing. It is an Arabic name reflecting my bond to the universality of Islam. Asmoro is my father’s name, a Javanese name meaning love. Wherever I live, I must bring my own character and attitude from where my blood is originally from.

Aidan Shifanan Asmoro, courage for curing and healing using my own character and love. Name is a hope (and a prayer) of a parent, and ASA means hope in Bahasa Indonesia as Indonesia is my forever homeland. May Allah SWT always guide me in this world, Amin.

Aberdeen, 1 July 2015 at 10.41 BST.

Weight 3,340 gr, Height 53 Cm.

Flat kami di Aberdeen

Seperti yang sudah ditulis sebelumnya, berburu private flat di Aberdeen adalah tantangan tersendiri. Ditambah bahwa akomodasi adalah hal utama ketika kita tinggal di tempat baru. Alhamdulillah, kami (keluarga dengan 5 tahun anak) datang dari airport Aberdeen langsung menempati flat kami di area antara Tillydrone dan Great Northern Road (Woodside).

Prosesnya adalah kami mendapat info flat di website Aberdeen mosque, lalu meminta senior orang Indonesia yang sudah tinggal di Aberdeen untuk viewing dengan dijemput landlord di Masjid. Lalu dikirimkan foto-foto oleh senior, dan deal via telepon lalu transfer 2x monthly rental fee beberapa hari kemudian. Kuncinya tentu percaya, silaturahim dan teknologi.

Berikut ini beberapa gabungan foto-foto dari flat kami. Yang paling kami suka, ada akses ke backyard dari living room membuat view nya fresh. 🙂

Living Room Abz

Kitchen Abz

Toilet Abz

Triandika's Room

Safa's Room Abz

Beberapa tambahan plus tinggal di flat (area) ini:

– Tenang, tidak berisik. Tiap pagi atau sore bisa dengar ramainya burung.

– Akses jalan utama, Great Northern Road jalan utama dimana banyak bus ke city center. Terutama bus Airport yang bisa mengantarkan ke Airport (15 menit) dan masuk langsung ke Bus Station di city center (15 menit). Tiket airport bus (stagecoach) ini lebih murah (dan ga harus bayar uang pas) dibanding first bus. Bagi yang suka jalan-jalan naik Megabus/Train, atau keluar UK tentu memudahkan. Jika ingin hemat, naik sepeda ke city center 15 menit.

– Harganya ‘masuk akal’, patokan flat 2 bed room furnished (all in furniture) di Aberdeen itu minimal £800 per month, exclude bills (electricity dan internet). Kalau dapat dibawah itu, rezeki namanya.

– Landlordnya yang muslim tinggal persis di depan flat, jadi jika ada masalah flat mudah. Kami pun cukup dekat menjadi seperti keluarga sendiri.

– Tidak besar tapi cukup, pernah menjadi host pengajian ibu-ibu dan anak-anaknya yang main di back yard. Total sekitar 20 an orang di living room yang dirapikan.

– Sekolah dekat: Riverbank school (nursery dan primary), hanya 7 menit jalan dari flat. St Machar school (secondary) 15 menit jalan.

– Groceries stores dekat, jalan kaki: Tesco Express, Farmfoods, Iceland, Poundstretcher (semua di Great Northern Road), dan halal store terbesar di Aberdeen, Fairdeal (lokasinya antara flat dan kampus). Jika ingin ke Lidl, bisa ke Bucksburn dengan bus airport, atau ke Asian store, Matthews dengan bus yang sama. Jarang ada lokasi di Aberdeen yang dekat banyak groceries seperti ini, mendukung hobi kami membandingkan harga hehe. Tapi tidak ada kompromi perihal halal (daging dan ayam).

Tentu ada sisi ‘kurang enaknya’, paling tidak ada dua yang utama:

– Tidak ada gas untuk heater atau masak, semuanya listrik. Secara umum lebih mahal menggunakan listrik dibanding gas. Namun kami berhasil menyiasatinya meter listriknya, aman terkendali sekarang (tergantung penghuni).

– Yang pasti banyak orang akan ‘komplain’ terhadap akses ke University of Aberdeen. Naik bus hanya 5 menit sebenarnya, tapi bus nya (No 19) kadang tidak tepat jadwal karena Tillydrone kawasan terakhir route nya. Namun jika jalan kaki hanya 20 menit, plus jika naik sepeda 5 menit, tanpa terganggu jadwal kapan harus berangkat.

Flat to Aberdeen Uni

20140909_101517

Flat kami satu dari 4 flat di rumah ini, plusnya kami di Ground level sisi kanan foto diatas. Dua jendela tersebut adalah 2 bed room. Alamatnya dimana? Well, saya masih protes ke Google map kenapa marker di mapnya kurang tepat. Paling tidak menurut map terdekat ini sudah cukup mewakili. Ada street view juga dan akan sedikit terlihat penampakannya flat house nya.

In overall, kami puas dengan flat kami. Alhamduillah. Semoga bisa diteruskan oleh orang Indonesia seterusnya. 🙂

Merencanakan Eurotrip

Eurotrip Merencanakan Eurotrip atau perjalanan ke Eropa adalah sebuah tantangan tersendiri. Keinginan untuk menjelajah sebanyak-banyaknya negara harus dibatasi dengan banyak hal, mulai dari waktu, fisik dan fokus destinasi yang dicari. Tantangan ini bahkan sebelum mulai mengajukan visa, karena saat pengajuan visa kita setidaknya sudah ada itinerary yang ingin dijalani.

Nah.. itinerary ini pun harus cukup masuk akal, berapa lama tinggal di suatu kota/negara, dimana akan tinggal dan bagaimana transportasi menuju kesana. Karena berapa lama tinggal akan berpengaruh ke negara mana yang akan kita ajukan untuk aplikasi visa schengen nya (negara terlama atau negara akses masuk/keluar). Visa schengen memang menjanjikan jelajah Eropa (daratan) tanpa batas, namun perlu ada strategi menyusun itinerary untuk aplikasi visa tersebut.

Pengalaman kami menjelajah Eropa 4 – 22 April 2015 lalu (18 hari), itinerary sudah mulai kami susun Januari 2015, karena visa akan diajukan di Februari 2015. Membutuhkan 2-3 minggu persetujuan visa, sehingga setidaknya 2-3 minggu sebelum perjalanan keputusan visa sudah didapat.  Karena bisa jadi visa tidak disetujui, maka langkah taktis pembatalan tiket masih lebih dari 7 hari sebelumnya sehingga meminimkan resiko tiket hangus (no refund).

Kami sampai harus membuat 3 kali revisi itinerary karena terlalu ambisius di 2 itinenary awal. Teman kami yang sudah pengalaman Eurotrip dan tinggal di Eropa memberikan masukan dan membuat kami harus merevisi tersebut.Standar negara Eropa yang akan kami kunjungi: Belanda, Perancis, Spanyol, Italia, Austria, Ceko dan Jerman.

Itinerary pertama masih memasukan Turki sebagai salah satu tujuan, dan beberapa kota di tiap negaranya yang membuat tidak realistis untuk dijalani. Misalnya di Belanda masih ingin pergi ke beberapa kota seperti Delft dan Rotterdam, sedangkan di Turki selama 3 hari. Artinya negara-negara lain hanya maksimal 2 hari, sedangkan di Spanyol banyak yang ingin dijelajahi.

Itinerary kedua, sudah tidak memasukan Turki tapi masih sedikit ambisius karena beberapa kota hanya 1 malam, masih ada Munich dan Hamburg, Prague hanya 1 malam, dan terdapat 2 overnight train. Bermalam di kereta bukan masalah sebenarnya, namun kami sendiri baru membeli Eurail Global Pass dan belum memesan seat kereta tersebut. Akhirnya,  itinerary kedua inilah yang kami ajukan untuk aplikasi visa ke Kedubes Belanda meskipun teman tersebut masih ‘protes’ atas itinerary tersebut.

Kesalahan kami adalah kami menunggu melakukan reservasi seat kereta setelah visa disetujui, dimana sebaiknya reservasi seat tersebut bisa dilakukan pararel dengan aplikasi visa. Lalu gimana nanti kalau visa tidak disetujui? Ituah mengapa harus cukup jauh hari untuk melakukan pembatalan, mungkin tidak 100% refund tapi setidaknya tidak hangus semuanya.

Akhirnya setelah visa disetujui, kami harus melakukan revisi itinerary lagi karena kami kehabisan seat train dari Barcelona ke Milan, setelah overnight train dari Granada ke Barcelona. Perubahan dilakukan dengan memesan pesawat terbang dari Madrid ke Roma, dimana sebelumnya Madrid tidak masuk dalam itinerary. Artinya kami harus tambah 1 malam di Madrid, sebagai pengganti overnight train tersebut.

Itinerary ketiga inilah yang akhirnya kami jalani selama Eurotrip 18 hari tersebut, mulai dari Aberdeen, UK ke Eropa daratan.

Hari 0 Perjalanan dari Aberdeen ke Glasgow, terbang ke Schiphol Amsterdam

Hari 1 Keukenhof and Amsterdam

Hari 2 Volendam and The Hague

Hari 3 Perjalanan ke Paris

Hari 4 Paris full day

Hari 5 Perjalanan Paris ke Barcelona, stopover Perpignan

Hari 6 Perjalanan Barcelona ke Granada, stopover Cordoba

Hari 7 Granada full day

Hari 8 Granada, perjalanan Granada ke Madrid

Hari 9 Madrid, terbang dari Madrid ke Rome

Hari 10 Roma full day

Hari 11 Perjalanan Rome ke Milan, stopover Pisa

Hari 12 Perjalanan Milan ke Vienna, stopover Zurich

Hari 13 Vienna full day

Hari 14 Vienna, daytrip Vienna ke Bratislava, perjalanan Vienna ke Prague

hari 15 Prague full day

Hari 16 Perjalanan Prague ke Hamburg

Hari 17 Hamburg full day

Hari 18 Perjalanan Hamburg ke Schiphol, terbang ke Glasgow, kembali ke Aberdeen

Oiya, pertimbangan vital saat menyusun itinerary adalah kami adalah keluarga dengan ibu hamil 26 – 29 bulan dan anak perempuan 5 tahun. Sehingga menyusun itinerary sedikit lebih menantang daripada hanya single traveler atau family traveler biasa.

Seperti apa peta perjalanan kami? Berikut ini dua traveler maps yang menggambarkan pola melingkar perjalanan kami di Eropa daratan.

Capture

MapLink: traveler map Eurotrip

Apakah kami puas? Well, manusia memang sering minta yang lebih. Total 18 hari, 18 kota dan 9 negara buat kami adalah pengalaman yang luar biasa. Meskipun ada beberapa hal yang diluar skenario, namun banyak pelajaran yang bisa kami ambil. Kuncinya di perencanaan, dan Alhamdulillah.. lebih dari 80% yang kami rencanakan sesuai kenyataan. Sedangkan sisanya adalah pelajaran lapangan yang akan jadi bagian cerita selanjutnya. 🙂

Selamat menyusun rencana Eurotrip!

Jelajah 5 Kota United Kingdom

Liburan akhir tahun di musim dingin adalah liburan yang dinanti oleh berjuta penduduk Eropa. Tentu saja bagi kami, perantau sementara di tanah Skotland, kesempatan ini tidak kami sia-siakan.

Menyiapkan liburan dengan mengunjungi beberapa kota tentu membutuhkan persiapan yang tidak sedikit, apalagi membawa anak kecil (meski baru satu sih dan usianya sudah 5 tahun). Selain menyiapkan pakaian (apalagi winter), makanan, transportasi, dan penginapan, yang paling utama adalah menentukan objek liburan dan itinerary nya. Dalam waktu 12 hari kota dan objek apa saja yang worthed untuk disambangi.

Setelah mengumpulkan info dari rekan dan juga info dari Google, kami putuskan untuk mengisi liburan winter kali ini di kota Glasgow, Edinburgh, Manchester, Liverpool dan London. Itinerary pun kami susun, namun tidak terlalu mendetail. Kira-kira skema perjalanannya adalah seperti ini :

skema perjalanan 1

Yang penting juga dalam menyiapkan liburan adalah menetapkan penginapan dan moda transportasi yang digunakan. Lokasi, jarak tempuh dan fasilitas adalah faktor yang yang harus diperhatikan. Tapi yang lebih penting lagi adalah tentu saja biaya. Daftar hotel dan hostel serta jenis transportasi pun kami buat dan kami bandingkan satu dengan yang lain. Berikut adalah penginapan dan moda transportasi yang kami pilih :

Skema perjalanan 2

Dan penjelajahan pun dimulai..

Part 1 : Aberdeen – Glasgow

Pagi itu pada jam 7.30, matahari belum menampakkan rona wajahnya. Winter memang musim yang ‘melenakan’… Selepas sarapan, kami bersiap untuk berangkat ke terminal bis Union Square Aberdeen. Tepat pukul 8.35 pagi bis pun melaju menuju kota pertama dalam rute perjalanan kami, Kota Glasgow. Bismillah..

Glasgow adalah kota terbesar di Skotlandia, dan termasuk kota terbesar ketiga di United Kingdom. Berdasarkan Rough Guides Poll, Glasgow ini terpilih sebagai “friendliest city in the world”.  Itu gimana surveynya ya ? Lalu predikat warga Indonesia yang katanya ramah-ramah itu berdasarkan survey gak ya?

Di kota ini Kami mengunjungi Kelvingrove Art Gallery and Museum, Kelvingrove Park, George Square dan tentunya University of Glasgow. Masih banyak lagi tempat yang menarik, tapi sayang waktu yang kami miliki hanya sebentar, hanya satu malam saja kami menginap.

Glasgow1

Glasgow2

 Part 2 : Glasgow – Edinburgh

Selepas makan siang dan sholat dzuhur-asar di salah satu masjid di Kota Glasgow, kami segera menuju terminal untuk naik bus Citylink yang akan mengantarkan kami ke kota Edinburgh. Waktu tempuh Glasgow-Edinburgh cukup singkat yakni hanya 1 jam 19 menit.

Edinburgh menurut kami terkesan lebih klasik dan rapi dibanding Aberdeen dan Glasgow. Selain itu beberapa tujuan wisata dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Itu sebabnya di hari kedua kedatangan kami ke Edinburgh, kami ikut Free Walking Tour yang menjadi agen tour favorit para turis di beberapa kota di Eropa. Perjalanan dimulai dari Edinburgh Castle dan berakhir di National Museum of Scotland. Namun dari sekian banyak tempat yang kami kunjungi dengan berjalan kaki selama 2,5 jam, tempat yang paling menarik adalah kuburan.. hihi. Iya kuburan yang menjadi inspirasi J.K Rowling untuk menggunakan nama Tom Riddle dalam novel Harry Potter. Jadi kalau mau cari inspirasi gak harus selalu jalan-jalan di taman, kuburan juga bisa kok jadi inspirasi :p. Lalu bagaimana dengan Elephant House yang mendadak menjadi terkenal karena J.K. Rowling sering menulis di kedai itu? Pastinya kami melipir kesana juga dong, apalagi letaknya tak jauh dari hotel kami menginap, hanya sayang saat itu gedung di atas Elephant House sedang diperbaiki, jadi kami perlu ‘bekerja keras’ untuk mendapat angle foto yang bagus.. hihi.

Edinburgh  (80)

Edinburgh  (23)

Edinburgh Tour

Tak jauh dari Edinburgh Castle terdapat toko (Tartan Weaving Mill) yang menyediakan jasa foto studio dengan pakaian tartan lengkap khas skotlandia. Dan memang salah satu alasan kami ke Edinburgh Castle adalah mengunjungi studio foto ini, bukan malah masuk ke castle-nya..hihi. Untuk mendapatkan 2 lembar foto ukuran A4, biayanya sebesar £34.95. Lumayan mahal juga sih.. tapi hasilnya bagus juga kok dan minimal sekali seumur hidup lah ya nyoba baju tartan yang aslinya harganya muaahaall.

Edinburgh - Fam Photo 1

Edinburgh - Fam Photo 2

Oya setelah berfoto di Edinburgh Castle, kami makan siang di Restoran Marhaba, restoran timur tengah yang direkomendasikan teman kami yang kuliah di Edinburgh University. Selain murah, letaknya juga strategis yaitu dekat dengan masjid besar Edinburgh dan juga tak jauh dari hotel tempat kami menginap. Pelajaran  penting pertama bagi kami sebagai keluarga yang lebih doyan jalan kaki (karena sehat dan murah) dan juga bawa anak kecil, memilih hotel yang strategis ternyata menjadi salah satu kunci dalam perencanaan wisata dalam kota.

Part 3 : Edinburgh – Manchester  

Hari-hari di Edinburgh pun berakhir. Kota tujuan kami berikutnya adalah Manchester. Untuk perjalanan kali ini kami memilih Train yang tiketnya sudah kami pesan jauhari sebelum liburan. Oya, untuk mendapatkan potongan harga tiket sebesar 30%, kami gunakan Family Rail Ticket yang tentunya kami pesan juga sebelum berangkat. Pokoknya selama ada promo, diskon, voucher asal jelas jangan sampai dilewatkan..hehe.

Begitu tiba di hotel Ibis Budget, kami istirahat sejenak kemudian melanjutkan misi terbesar kami di Manchester, apalagi kalau bukan jelajah stadion Manchester United dan Manchester City…hihi. Untuk sampai ke stadion Old Trafford kami memilih naik tram, karena ternyata stasiunnya tidak jauh dari hotel Ibis Budget. Biasanya stadion-stadion sepakbola Eropa dan UK menawarkan fasilitas tour yang tentunya berbayar. Mengingat misi kami ‘cuma foto’ aja, jadi tentu saja kami tidak terlalu tergiur dengan tour itu.. hemat bukan? :p.

Tiba di Stadion Old Trafford, kami berjumpa dengan wisatawan-wisatawan Indonesia dan Malaysia. Setelah diperhatikan baik-baik, kebanyakan wisatawannya memang orang Indonesia dan Malaysia. Mereka juga mungkin punya misi yang sama dengan kami yaitu ‘cuma foto’…wkwkw.

Hari kedua di Manchester bertepatan dengan tanggal 25 Desember. Praktis tidak ada yang menarik dari kota ini… jalanan sepi sekali. Untunglah saat itu ada teman yang berbaik hati yang mengajak kami jalan-jalan (beneran jalan kaki). Kebetulan teman kami ini kuliah di University of Manchester. Thanks to Fajar, Radith dan Ratri atas jamuannya dan ‘petunjuk’-nya. Pelajaran penting kedua adalah pikirkan kembali masak-masak kalau mau berlibur saat natal di kota-kota UK, karena selain seluruh tempat atraksi dipastikan libur, transportasi pun ikutan libur. (Maaf ya Kakak Safa, liburannya sekalian jalan sehat.

IMG_20141224_141627_1

IMG_20141224_152211_1

Part 4 : Manchester – Liverpool

Perjalanan ini semacam bonus atau mungkin “maksa”. Kenapa? Pada awalnya Liverpool tidak masuk dalam kota tujuan liburan kami. Tapi alasan pertama mengapa pada akhirnya kami ‘maksa’ ke Liverpool adalah letak kota ini yang tidak terlalu jauh dari Manchester (kurleb 1 jam dengan bus). Alasan kedua adalah sayang saja kalau kami harus melewatkan Stadion Anfield Liverpool dari daftar jelajah stadion kami :p. Dan ternyata memang kami ‘benar-benar maksa’ setelah tahu bahwa bus yang beroperasi dari Manchester ke Liverpool pada hari itu hanya satu kali yaitu jam 4 pagi (bayangkan jam 4 pagi kala winter L). Alhasil sesampainya kami di Liverpool jam 5.15, langit masih gelap mencekam, angin berhembus cukup kencang (lebay), Stance terminal di Liverpool pun kurang nyaman karena ‘terbuka’, kami memilih tiduran sambil duduk di kursi salah satu Stance yang kami anggap cukup aman. Bergantian kami menggendong Safa yang saat itu tengah terlelap tidur. Kami pun bergantian sholat setelah seorang bule pegawai lokal menawarkan kami untuk menggunakan kamar mandi di kantornya. Mungkin pikirnya kasian dua sejoli beserta putrinya ini seperti tak tahu arah tujuan.. wkwkwk.

Jam 8 pagi, kota Liverpool mulai berdenyut, langit pun tampak lebih cerah meski matahari belum datang. Safa sudah bangun sejak kedua kalinya kami ditawari oleh si bule baik itu untuk memakai kamar mandinya. Setelah selesai dengan urusan bersih-bersih diri, kami berjalan menuju Albert Dock, pelabuhan yang terkenal di Liverpool.

Kawasan Albert Dock adalah one stop attraction, karena di sini terdapat hampir semua atraksi wisata, mulai dari museum, arena konvensi, wheel, hotel, toko souvenir hingga pusat perbelanjaan. Tapi karena hari itu tanggal 26 Desember, atau terkenal dengan nama boxing day, maka banyak toko-toko yang tutup. Untunglah ada satu toko souvenir, kepunyaan orang timur tengah sepertinya, yang buka di hari itu. Kami pun masuk dan membeli beberapa souvenir magnet.

Liverpool (6)

Di sini ada Museum The Beatles Story yang menyimpan rekam jejak Beatles sejak ia berdiri sampai John Lenon dan Paul Mc Carney bersolo karir. Ah tapi kami bukan penggemar Beatles, plus museumnya juga ikutan tutup, jadi cukuplah kami ‘berfoto’ saja.. hihi.

Liverpool (11)

Tujuan perjalanan selanjutnya setelah kami sholat dzuhur adalah Stadion Anfield. Dari station bus kami naik Bus Arriva dan membeli ‘return ticket’. Bus ini mengantarkan kami tepat di depan stadion Anfield yang ternyata… tutup saudara-saudara. Gerbang besar bagian depannya tutup, gerbang belakang juga tutup.. padahal apalah da kami cuma pengen foto :(. Karena gerbang depan tutup, sementara dari gerbang ke jalan raya hanya dipisahkan oleh trotoar untuk sekitar 4 pejalan kaki jadi kami gak dapet angle yang cakep untuk foto.. ah males nih Liverpool FC.

 Liverpool (29)

Part 5 : Manchester – London

Tibalah hari menuju kota terakhir dalam itinerary perjalanan kami, ya Kota London. Waktu tempuh dari Manchester menuju London dengan menggunakan bus adalah sekitar 5 jam. Begitu tiba di Victoria Coach Station tepat pukul 2 siang, kami segera mencari tempat untuk makan siang. Alhamdulillah nemu resto fast food yang ternyata halal, padahal niatnya mau cari fish and chips aja. Resto yang terletak di kompleks pertokoan di Buckingham Palace Road ini namanya adalah Food Galleries.  Tak lupa kami pun memesan makanan untuk bekal makan malam di wisma.

Di London kami menginap di Wisma Caraka yang berlokasi di daerah Hendon, North London. Wisma ini menjadi pilihan terakhir karena 2 wisma yang lain sudah full booked yaitu Wisma Indonesia dan Wisma Merdeka. Meski cukup jauh dari pusat kota, tapi Wisma ini hommy banget. Pengurus wisma, namanya Mbak Lusi beserta suami, begitu ramah dan asyik untuk diajak ngobrol. Kami pun sering bertukar cerita di kala sarapan. Wisma ini amat sangat recommended.

London (34)

Lima hari di London saat musim liburan tidaklah cukup, terutama bagi wisatawan yang tidak ingin melewatkan setiap objek wisata di kota Prince William ini. Apalagi hampir di setiap tempat wisata dipastikan antrian pembelian tiket terlihat mengular. Mengingat liburan kami adalah liburan keluarga hemat jadi kami memilih wisata yang free. Yang penting bisa terdokumentasi dengan baik.

Kami mengunjungi London Bridge, Tower Bridge, London Eye (Cuma lihat aja.. gak kuat lihat antriannya dan harga tiketnya :p), Big Ben and Parliament House, Trafalgar Square, Horse Guard Parade dan prosesi changing guard nya. Untuk wisata museum ‘gratis’, kami mengunjungi Victoria and Albert Museum, Natural History Museum dan Science Museum. Dari Science Museum kami berjalan kaki menuju Harrods, yaitu Mall besar kepunyaan mendiang Dodi Al Fayed.

Untuk urusan makan, seperti biasa kami mencari restoran timur tengah yang sedia doner kebab atau fish and chips. Tapi mumpung ada di London, tak lupa kami juga bertandang ke Warung Padang London yang terletak di China Town. Kami memesan ayam pop dan semangkuk bakso, ah seger banget, kerinduan kami akan masakan padang pun terbayar sudah :p. Setelah kenyang bersantap masakan cita rasa nusantara, kami berjalan menuju Loon Fung yaitu chinese supermarket yang terkenal di kota London. Namun sayang, saat itu tempe yang kami incar sedang kosong stoknya. Jauh-jauh ke London nyarinya tempe :p.

London (89)

London (149)

London (183)

5 hari berlalu di kota London, berakhir pula waktu liburan kami. Tiba saatnya pulang ke kota dingin berangin, kota Aberdeen. Dari London menuju Aberdeen kami naik Megabus dengan waktu tempuh perjalanan 13 jam. Perjalanan terjauh dari sekian perjalanan antar kota dalam itinerary kami. Perjalanan terjauh namun begitu indah, karena kami membawa bingkisan cerita yang kelak akan selalu kami kenang. Teringat dengan lirik klasik, God speed the day, when I’m on my way, To my home in Aberdeen.