Triandika Weblog Rotating Header Image

Bunda Dika

Cerita Hamil dan Melahirkan di Aberdeen

Cerita ini saya bagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama berjudul “Hamil dan Pemeriksaan Rutin”, bagian kedua berjudul “Saat Melahirkan Tiba” dan bagian ketiga berjudul “Senangnya Punya Health Visitor”. Tulisan ini saya tujukan untuk teman-teman yang diberi anugerah kehamilan di Aberdeen, semoga cerita pengalaman ini bisa bermanfaat. Dan juga untuk Aidan, mujahid yang saya cintai. “Bunda yakin kisah ini kelak akan sampai padamu, Nak.”

Bagian pertama : Hamil dan Pemeriksaan Rutin

7 September 2014 pukul 12 siang adalah hari pertama kami di Aberdeen. Dingin, itulah kesan pertama saya ketika datang. Jelas saja saat itu di Aberdeen sedang musim gugur. Dijemput oleh seorang teman, kami lalu meluncur ke flat yang akan menjadi rumah kami selama setahun. Keesokan harinya secara bertahap kami mulai menjalani aktivitas rutin.

27 September 2014 adalah hari pertama saya haid dan ternyata itu menjadi haid yang terakhir karena di bulan Oktober tamu bulanan itu tidak muncul lagi. Test Pack menunjukkan 2 garis merah. Alhamdulillah saya positif hamil. Saya lalu menelepon GP dan memberitahu bahwa saya terlambat datang bulan. Mereka kemudian membuat jadwal pertemuan saya dengan midwife. Oya untuk membuat appointment pastikan sebelumnya kita (dan keluarga) sudah terdaftar di GP. Kami sendiri daftar ke Woodside Medical Centre (GP yang paling dekat dari rumah) sekitar seminggu setelah tiba di Aberdeen.

1 Desember 2014 awal jumpa dengan midwife di GP. Sarah Humphrey namanya. Sarah mewawancarai saya dengan beberapa pertanyaan seputar data diri dan keluarga serta riwayat kehamilan sebelumnya. Usia kandungan saya saat itu berdasarkan perhitungannya adalah 9w 1d. Usai wawancara saya dibekali buku panduan kehamilan “Ready, Steady, Baby” dan semacam buku medical record pre dan post natal yang memuat segala record kesehatan saya selama hamil dan melahirkan. Tak lupa Sarah menuliskan jadwal saya ke GP untuk konsultasi dengan midwife serta kapan saya harus ke Aberdeen Maternity Hospital untuk scan (USG).

ready steady baby

15 Desember 2014 adalah appointment kedua saya dengan Sarah. Darah dan urin saya diperiksa. Parameter yang diperiksa adalah Full Blood Count, Virology, HBa1C, HIV, Rubella, Sifilis, Hep-B, Sickle Cell Anaemia, Thalassemia dan pH urin. Ternyata yang diperiksa cukup banyak ya. Hasil tes darah tidak diserahkan kepada pasien, jadi pasien hanya akan dihubungi jika ada yang ganjil dengan hasilnya. Saya sendiri sempat dihubungi satu kali karena Hb saya rendah pada pemeriksaan darah ketiga di rumah sakit. Sejak saat itu setiap pertemuan dengan midwife, saya diminta untuk mengumpulkan urin untuk diperiksa pH nya. Terhitung sejak 1 Desember hingga melahirkan, total pertemuan saya dengan midwife hanya 7 kali. Alhamdulillah selama kehamilan ini saya sehat dan tidak sampai ‘ngidam’, bahkan masih bisa keliling 9 negara Eropa ketika usia kandungan 28 minggu. Alhamdulillah..

6 Januari 2015 adalah jadwal scanning pertama di Aberdeen Maternity Hospital. Scanning dilakukan oleh sonographer di lantai pertama lalu hasilnya kami bawa ke lantai kedua untuk dikonsultasikan dengan dokter spesialis kandungan. Berbeda dengan di Indonesia dimana scan dan konsultasi hasil, keduanya dilakukan oleh obgyn. NHS (National Health Service) UK umumnya hanya menganjurkan scanning sebanyak 2 kali yaitu pada saat usia 10-12 minggu dan 20 minggu. Namun mengingat saya mempunyai riwayat keguguran di kehamilan kedua maka saya dianjurkan dokter untuk scan 4 kali yaitu pada usia 15, 25, 30 dan 36 minggu. Mengapa dianjurkan? Karena disini pasien berhak memilih untuk tidak di-scanning. Oya, peraturan di Aberdeen Maternity Hospital adalah pasien dilarang menanyakan jenis kelamin janin saat di-scanning. Jadi kalau penasaran ingin tahu jenis kelamin calon bayi, maka kita bisa scanning di private clinic yang tentunya berbayar. Entah apa dasar dari peraturan ini, padahal rumah sakit di Glasgow saja masih membolehkan, padahal sama-sama di Scotland. Karena jenis kelamin janin masih rahasia maka saya dan Mas Trian menyiapkan 2 nama untuk bayi laki-laki dan perempuan. Dan kami sepakat kalau nama bayi kami nanti baik laki-laki atau perempuan harus mengandung unsur Scottish..hehe.

hospital

29 Juni 2015 adalah due date saya berdasarkan perhitungan midwife dengan siklus 28 hari. Sarah sudah membuatkan appointment lagi tanggal 30 Juni jika due date saya lewat. Benar saja saya harus bertemu Sarah lagi karena hingga tanggal 30 Juni pagi kontraksi belum terasa. Saya ditawari untuk di sweep yaitu pemeriksaan internal dimana midwife akan memasukkan jarinya ke dalam servik, dengan begitu membran kantung bayi akan terpisah dengan servik. Pemisahan ini akan menghasilkan hormon prostaglandin yang akan memicu kontraksi. Saya pikir daripada menunggu hingga minggu ke 42, lebih baik saya terima saja tawarannya, toh aman juga kan.

Bagian kedua : Saat Melahirkan Tiba

Tanggal 1 Juli 2015 bertepatan dengan 14 Ramadhan 1436 H sekitar pukul 1 dini hari, ketuban saya ‘rembes’. Oh mungkin ini adalah reaksi setelah kemarin midwife melakukan pemeriksaan internal. Saya duduk di lantai menunggu kontraksi datang sambil menemani Mas Trian sahur. Tapi hingga subuh (sekitar jam 2) tidak ada kontraksi sama sekali. Akhirnya saya berganti pakaian, berwudhu dan sholat berjamaah dengan Mas Trian.

Usai sholat subuh saya coba berbaring, mengumpulkan tenaga untuk melahirkan yang mungkin saja terjadi hari itu. Namun meski mata terpejam, saya tetap tidak bisa tidur. Kontraksi lalu muncul jam 4 pagi, rutin tiap 3 menit sekali. Saya biarkan Mas Trian tidur karena dia belum sempat tidur sejak isya dan tarawih. Puasa di musim summer membuat pola tidur kami berubah. Jam 5 saya bangunkan Mas Trian dan memberitahunya kalau kontraksi sudah mulai rutin dan saya rasa sebaiknya kami ke hospital jam 6 nanti.

Mas Trian menelepon Labour Ward Aberdeen Maternity Hospital dan menceritakan kondisi saya. Mereka bertanya berapa menit sekali saya kontraksi, berapa lama, apa saya masih bisa menahan rasa nyeri. Mungkin jika masih bisa tahan atau kontraksi masih lemah saya belum diizinkan ke rumah sakit. Tapi mengingat saya sudah pecah ketuban sejak semalam dan kontraksi mulai rutin 3 menit sekali, akhirnya pihak rumah sakit mengizinkan saya untuk datang.

Jam 6 pagi taksi datang. Kami antar Safa terlebih dahulu ke rumah Mbak Lita, salah seorang teman sekaligus tetangga di Aberdeen. Sudah sejak lama kami memberi tahu Safa kalau bunda nanti melahirkan, Safa akan diantar jemput sekolah oleh Mbak Lita dan menginap di flatnya. Kebetulan anak-anaknya memang akrab dengan Safa, sehingga kami tidak terlalu khawatir dengan proses adaptasi Safa selama menginap disana.

Setelah mengantar Safa, taksi membawa kami ke rumah sakit. Begitu tiba di rumah sakit, kami diantar langsung ke ruang bersalin oleh seorang midwife jaga. Dia mewawancarai saya seperti mereka mewawancarai Mas Trian. Lalu dia memeriksa tekanan darah dan suhu badan saya serta denyut jantung janin. Dia kemudian mengatakan bahwa sebentar lagi ada pergantian bidan jaga. Saya akan diperiksa lebih lanjut oleh Amanda, midwife yang bertugas pada shift berikutnya.

Jam 8 pagi, Amanda dan salah seorang Midwife student dari RGU (Robert Gordon University) memeriksa saya. Seperti biasa mereka memeriksa tekanan darah, suhu badan dan juga denyut jantung janin. Saya bertanya kapan pemeriksaan internal dilakukan, maksudnya periksa ‘pembukaan’. Karena biasanya di Indonesia bidan akan memeriksa status ‘pembukaan’ tiap beberapa jam sekali. Amanda kemudian memeriksa status pembukaan saya. Masih bukaan 1 jawabnya. Arrggh, padahal sudah nyeri tapi masih bukaan satu. Rasa sakit makin bertambah setelah Amanda mengatakan bahwa pemeriksaan berikutnya 4 jam lagi. Tapi saya tidak diminta pulang. Saya diizinkan tinggal dan menggunakan berbagai fasilitas di ruang bersalin. Saya pilih birthing Ball karena katanya duduk sambil bergoyang-goyang di birthing ball membantu mempercepat proses persalinan.

Waktu terasa begitu lambat. Setiap jam midwife student memeriksa kondisi saya dan janin. Sampai suatu saat saya merasa begitu sakit lalu meminta gas and air sebagai pain killer. Agak asing memang karena dua kali pengalaman melahirkan di Indonesia saya tidak pernah diberi pain killer. Dengan teratur saya lakukan inhale dan exhale dengan bantuan selang gas and air sambil perlahan melafazkan takbir. Ternyata gas and air ini hanya mampu mengurangi rasa sakit beberapa menit saja. Lalu saya pindah ke tempat tidur dan berharap dengan posisi berbaring rasa sakit akan berkurang. Tapi justru berbaring membuat saya lebih sakit dan keinginan untuk mengejan semakin kuat. Saya belum berani mengejan mengingat pemeriksaan pembukaan yang kedua belum dilakukan. Takutnya alih-alih mengejan, perineum saya malah sobek atau kepala janin belum turun. Tapi keinginan mengejan sudah tidak bisa ditahan lagi. Saya lantas mengambil posisi kneeling atau berlutut di atas tempat tidur sambil menyandarkan kepala dan tangan saya ke bantal. Posisi melahirkan ini adalah hasil konsultasi saya dengan midwife community selama hamil.

Midwife student yang melihat saya sudah mengambil posisi kneeling segera memanggil Amanda. Mereka kemudian bergegas menyiapkan segala perlengkapan melahirkan. Tanpa pemeriksaan status pembukaan yang kedua saya langsung mengejan begitu kontraksi tiba. Mas Trian mengusap punggung saya perlahan. Entah berapa kali saya sudah mengejan tapi kepala bayi belum mau keluar. Durasi kontraksi begitu singkat sehingga meski kontraksi telah usai, nafas saya untuk mengejan masih bersisa. “Listen to your body, Dika”, tiba-tiba Amanda mengingatkan, membuat saya tersadar bahwa melahirkan adalah komunikasi antara wanita dengan tubuhnya, hanya ia yang tahu kapan saat yang tepat untuk mengejan dan kapan berhenti. Saya tatap mata Mas Trian lalu meminta maaf. Bagi saya melahirkan selalu menjadi momen yang sangat emosional. Dan saya bahagia karena setiap momen itu Mas Trian selalu ada di samping saya.

Untuk kontraksi yang kesekian kalinya saya menarik nafas dalam lalu mengejan dengan kuat hingga lahirlah bayi kami ke dunia pada pukul 10.41 BST (British Summer Time). “Alhamdulillah, laki-laki Bunda”, ucap Mas Trian. Air mengalir pelan dari sudut mata sendunya. Dia bahagia. Begitu pun saya.  Terimakasih ya Allah, telah menghadirkan Aidan, bayi laki-laki mungil di tengah keluarga kami. Aidan Shifanan Asmoro, itulah nama yang kami pilih jika yang lahir adalah bayi laki-laki.

IMG_20150701_114417

Seperti prosedur rumah sakit pada umumnya, bayi yang baru saja lahir diperiksa nilai APGAR nya lalu dibersihkan secukupnya kemudian diletakkan di atas perut ibunya untuk IMD dan juga menjaganya agar tetap hangat. Selama Aidan IMD, Amanda menjahit perineum saya yang robek derajat 2. Gas and air saya gunakan untuk mengurangi rasa sakit meski sebelum dijahit saya sudah mendapat bius lokal. Selesai dijahit, Aidan kemudian ditimbang beratnya dan diukur panjangnya. Hasilnya berat 3,340 kg dan panjang 53 cm.

aidan

Sekitar 1 jam pasca melahirkan saya berjalan ke kamar mandi untuk bersih-bersih diri dan berganti pakaian. Masih di ruang bersalin Aidan dibersihkan kembali dan dipakaikan baju oleh midwife student. Setelah bersih baru Mas Trian mengadzaninya.

Jam 2 siang, dua dokter anak datang ke ruang bersalin untuk memberi Aidan vitamin K dan imunisasi BCG. Amanda mengatakan bahwa dokter anak yang lain akan datang lagi sekitar jam 5 sore untuk memeriksa status kesehatan Aidan. Sambil menunggu, saya gunakan waktu untuk beristirahat dan memberi kabar kelahiran Aidan kepada keluarga dan teman-teman. Jam 5 sore seorang dokter keturunan India datang dan memeriksa kondisi Aidan. Semua terlihat normal katanya sehingga saya dan Aidan diperbolehkan untuk pulang. Saya dan Mas Trian cukup kaget karena kami sudah mempersiapkan diri untuk menginap di rumah sakit namun ternyata cukup 12 jam saja kami di rumah sakit. Saya bersyukur bisa pulang karena tidak perlu berpisah dengan Mas Trian dan bisa bertemu lagi dengan Safa setelah melahirkan. Peraturan di Aberdeen Maternity Hospital adalah pasien tidak boleh ditunggui hingga lewat malam, meski tamu itu adalah suami sendiri.

Sebelum pulang, Amanda memberi kami beberapa dokumen penting, diantaranya adalah dokumen untuk aplikasi birth register ke city council dan dokumen Transfer of Care from Hospital to Community yang berisi rekam medik saya dan Aidan selama proses melahirkan. Setelah serah terima dokumen tak lupa kami berfoto bersama Amanda serta midwife student yang begitu sabar dan gesit membantu saya melahirkan. Thanks a lot, Amanda.

bunda ayah

Bagian ketiga : Senangnya Punya Health Visitor

“Jangan keluar rumah dulu sebelum 40 hari ya. Kaki jangan ditekuk, harus selonjor. Kaki jangan gantung.”, nasehat ibu mertua saya di ujung telepon. “Mas Trian tolong bilang ke Dika jangan banyak kerja dulu. Kelihatannya aja Dika sehat tapi ‘dalamnya’ masih luka”, kalau ini nasehat ibu saya pada Mas Trian. Ya begitulah orang tua, meski bahagia mereka tentu khawatir dengan anaknya yang melahirkan di luar negeri, jauh dari keluarga besar mereka di Indonesia. Saya pun sempat khawatir  dan bertanya pada diri sendiri ‘apakah saya mampu?’. Tapi melihat pengalaman teman-teman yang hamil dan melahirkan di luar negeri, saya menjadi yakin kalau saya insya Allah bisa menjalaninya. Alhamdulillah Mas Trian juga tinggal menulis tesis dan tidak ada jadwal kuliah rutin jadi bisa optimal membantu pekerjaan rumah tangga. Safa juga terlihat senang dengan kehadiran Aidan. Dia belajar menenangkan adiknya ketika menangis, bernyanyi dan menciumnya setiap saat. Meski tetap saja saya harus menyiapkan banyak ide permainan untuk Safa, mengingat saat itu dia masih libur sekolah.

aidan safa

2 Juli adalah kunjungan pertama midwife ke rumah kami. Di Scotlandia (atau mungkin juga di seluruh UK), dalam rentang 10 hari pasca melahirkan, midwife akan datang ke rumah untuk memeriksa kesehatan ibu dan bayi. Midwife mengukur berat badan Aidan dan mewawancarai saya seputar nifas, breastfeeding, frekuensi ganti popok dan lain-lain. Selama 10 hari, midwife datang berkunjung sebanyak 4 kali. Setelah itu giliran Health Visitor (HV) yang bertugas memantau perkembangan saya dan Aidan. HV bertugas untuk mensupport dan mengedukasi keluarga pasca kelahiran sampai 5 tahun usia anak.

Health Visitor kami bernama Sheena Wilson. Dia ramah dan informatif. Dia menjelaskan tentang tugasnya kepada kami. Dari ceritanya saya jadi tahu bahwa HV sebenarnya adalah nurse atau midwife  yang telah menjalani program training ‘health nursing/health visiting’. Sheena sendiri sudah 6 tahun bekerja sebagai midwife community dan beberapa tahun bekerja di rumah sakit sebelum akhirnya memutuskan untuk menjadi health visitor. Alasannya adalah midwife community hanya memantau pasien selama hamil dan melahirkan, sedangkan HV bertugas memantau pasien beserta keluarganya selama 5 tahun. Kami senang sekali setiap Sheena datang karena itu artinya kami jadi tahu berat badan Aidan terbaru ..hehe. Dan setiap ada permasalahan dengan perkembangan kesehatan Aidan kami punya partner ahli untuk sharing. Andai saja setiap keluarga di Indonesia memiliki HV tentu masalah-masalah seputar pengasuhan anak sedikit demi sedikit dapat teratasi. Mudah-mudahan saja, suatu saat nanti di Indonesia.

aidan 2

Karena Menyapih Itu Indah

Pagi itu Garuda tinggal landas dari Bandara Ngurah Rai menuju Halim Perdana Kusuma. 18 Desember 2012 kami pulang kembali ke rumah setelah 6 hari training sambil berlibur di Bali. Ini adalah perjalanan terakhir kami sekeluarga sebelum Safa berusia 2 tahun. Untuk anak usia 0 hingga 23 bulan, Garuda Indonesia menjual tiket senilai 10% harga tiket orang dewasa. Oleh karena itu, perjalanan dimana Safa belum mencapai usia 2 tahun adalah perjalanan yang cukup murah. 2 tahun ke atas harus pikir-pikir lagi..hehe. Timing perjalanan kali ini terbilang kurang tepat, mengingat seharusnya Safa mulai latihan disapih sejak awal Desember. Tapi sesuai prinsip keluarga hemat, dimana ada training, disitu ada liburan..hehe.

Uluwatu

Safa adalah tipe anak yang cenderung cepat bosan, kurang sabar dan sulit beradaptasi dengan dunia baru. Setiap dia merasa tidak nyaman maka dia akan memeluk bundanya sambil mengerang, minta mimi (disusui). Padahal sudah sejak lama pasokan ASI nya sedikit karena intensitas menyusui berkurang saat saya bekerja. Mungkin ini yang membuat berat badan Safa tidak bertambah dalam kurun waktu 5 bulan, karena dia kenyang minum angin saat menyusu pada bundanya. Dan selama di Bali, 5 hari 4 malam, semakin intens lah Safa menyusu, pagi hingga malam.

Sejak bulan November saya sering mengatakan pada Safa bahwa sebentar lagi Safa berusia 2 tahun. “Safa sudah besar, mimi bunda udah habis, nanti mimi nya untuk dedek bayi ya”. Begitulah kalimat yang selalu saya ingatkan padanya. Mungkin dia mengerti akan maksud kalimat itu, jadi setiap saya mengatakannya, Safa selalu protes dan semakin kuat memeluk saya. Dan kalimat itu saya ucapkan terus di Bali, berharap setelah pulang Safa siap untuk disapih.

19 Desember 2011, bertambahlah usia Safa. Sesuai dengan rencana kami, Safa harus disapih tepat pada hari ulang tahunnya. Bangun tidur biasanya Safa minta mimi, ini adalah ritualnya dalam mengawali hari. Tapi hari itu tidak ada mimi, karena saya langsung menggendongnya dan mengajaknya ke depan rumah menyaksikan tanaman. Saya berkicau terus, berharap safa lupa untuk mimi. Alhamdulillah fase pertama beres. Fase kedua adalah saat tidur siang. Saat saya sedang bekerja, Safa biasa tidur siang setelah menghabiskan 2 botol susunya. Gaya tidurnya adalah minum susu sambil berbaring ditemani mbaknya (mbaknya harus dalam posisi berbaring juga), lalu setelah dia siap tidur, botol susunya disimpan di belakangnya kemudian berbalik menghadap mbaknya sambil memeluk lehernya. Ya, safa belum bisa tidur sendirian. Tapi dengan cara seperti itu, tidak hanya safa yang menikmati tapi mbaknya juga, karena dia jadi ikutan tidur..hehe. Tidur siang kali ini saya  biarkan safa bersama mbaknya. Safa tidur dengan mudah, karena gaya tidur seperti ini adalah gaya tidur sehari-harinya.

Fase ketiga adalah fase yang dicemaskan, yaitu saat tidur malam. Bagaimana tidak, selama 20 bulan lebih Safa tidur malam dengan cara disusui bundanya. Terkadang sambil digendong, tapi lebih sering sambil berbaring. Cara tidur seperti ini membuat jadwal tidur malam Safa menjadi rutin dan cara tidur ini adalah yang paling nyaman bagi kami. Safa merasa kenyang dan mudah nyenyak, saya pun bisa tidur dengan cepat. Sampai-sampai ayahnya sering kesal karena ditinggal tidur..maaf ya ayah.

Seperti yang sudah kami sepakati bahwa Safa tidak akan disapih dengan cara-cara yang tidak komunikatif, seperti mengoles puting dengan obat merah, bratawali atau menempelnya dengan plester, apalagi datang ke orang pintar dan minta dibuatkan minuman spesial. Bagaimana pun juga Safa harus tahu bahwa suatu saat nanti dia harus berhenti mimi, bahwa Safa semakin besar, bahwa Safa insya allah akan menjadi seorang kakak. Tapi Safa juga tahu bahwa Bundanya, baik menyusui maupun tidak, baik siang atau malam, pagi atau petang, selalu berada di sampingnya, menyayanginya. Saat ngantuknya meradang, ia meronta meminta mimi. Ia menepuk dadanya sendiri sebagai tanda bahwa dia ingin mimi. Sedih sekali melihatnya menangis karena tidak mendapat apa yang biasa ia dapat setiap hari, selama 2 tahun. Namun ayahnya merangkul pundak saya sambil berujar singkat, “yang kuat ya”.

Sayangnya kami belum mengumpulkan referensi yang banyak mengenai metode menyapih di malam hari. Alhasil semua metode kami coba. Dari mulai mengganti bajunya dengan baju tidur, membacakan shalawat, memberinya susu UHT, memijatnya, membacakan cerita untuknya. Tapi dari semua metode, metode yang saat itu manjur adalah dengan mengajaknya menonton video kesukaannya, Barney and Friends. Kebetulan video ini hanya berisi lagu-lagu saja, hasil download-an ayahnya. Kadang kami putarkan video dirinya yang sedang renang, tertawa, makan dan lain-lain. Sempat juga kami putarkan video kartun islam yang juga hanya berisi cerita singkat dan lagu-lagu. Video Barney pun diputar di laptop, sambil berbaring ditemani ayah dan bundanya, Safa menonton dengan khusyu. Dalam 3 menit, matanya tertutup, Safa tertidur. Hore.. saya girang tidak kepalang. Safa berhasil melewati hari pertamanya disapih.

Seharian tidak menyusui Safa, produksi ASI yang meningkat tidak tersalurkan. Jadilah bengkak dan keras. Apalagi seminggu sebelumnya Safa intens disusui selama di Bali. Berharap semoga tidak sampai demam, karena dulu sehari setelah melahirkan safa, badan saya demam menahan nyeri bengkak karena ASI tidak tersalurkan dengan optimal. Sengaja saya tidak mengeluarkannya baik manual maupun dengan pompa, karena khawatir pasokannya akan semakin deras, karena supply ASI itu by demand, semakin banyak keluar maka semakin banyak produksinya. Sempat saya berniat ingin konsultasi ke konselor ASI di RS. Hermina, tapi niat itu urung saya laksanakan karena Alhamdulillah dalam waktu 5 hari bengkaknya berkurang. Karena sudah tidak terlalu sakit, saya biasakan massage setiap akan mandi pagi supaya di kemudian hari tidak ada “sumur” ASI yang tersumbat.

Hari kedua sampai sepekan, Safa berhasil tidak mimi. Yang dia ingat adalah miminya sudah habis. Safa kadang menunjuk dada bundanya sambil bicara cadel, “mimi abisss, de bayyi, mimi abiss”. Siang pun dia lewati dengan mudah. Tapi malam hari Safa masih harus disuguhi video Barney. Sepertinya Safa baru bisa tenang tidur setelah mendengar suara nyanyian Barney “I love u, u love me, we’re a happy family…”. Nyanyian itu berhasil meninakbobokan Safa selama 3 menit atau lebih. Sempat di malam hari Safa menangis, dan dalam keadaan mata masih tertutup ia mengigau “baniy, baniy…”. Ya sudahlah, jam 2 malam sambil menahan kantuk, ayah bundanya menyalakan laptop kembali. Dan biasanya untuk tertidur lagi butuh waktu hingga 1 jam.

Hari ke delapan, Safa tidak mau tidur di kamar. Maunya tidur di karpet di tengah rumah, sambil menonton video kesukaannya yang baru (bukan baru dibeli, tapi baru dikeluarkan lagi setelah lama tidak ditonton). Videonya kali ini adalah lagu-lagu TK. Lagu favoritnya adalah Anak Kambing dan Kereta Api. Safa hapal sekali urutan lagunya. Jika satu lagu sudah mulai habis, dia akan bilang “abiss, giang”, yang artinya “lagunya mau habis, sebentar lagi lagu sipatu gelang”. Karena masih minimnya ilmu ayah bundanya, kami biarkan ia tertidur sambil menonton video lagu kesukaannya itu. Ritual ini berlangsung selama kurang lebih lima hari.

Tanpa mencari referensi pun, suara hati saya sebagai seorang ibu sebenarnya menolak gaya tidur seperti ini. Selain akan membuat safa ketergantungan, mata Safa pun akan rusak, dan psikologi Safa akan terganggu. Apalagi Safa baru bisa tidur jam 11.30 malam. Dan memang benar, setelah saya cari referensi (sebenarnya lebih ingin mencari pernyataan yang menguatkan kekhawatiran saya) terbukti bahwa memang para Psikolog Anak tidak menganjurkan anak (atau balita) melakukan aktivitas “berat” sebelum tidur, seperti nonton TV, main games dll yang menyedot konsentrasi dan energinya.  Hasil bacaan ini saya diskusikan dengan ayahnya dan kami sepakat untuk menyapih Safa dari menonton video (TV) di malam hari, meskipun konsekuensinya kami harus tidur larut menemani Safa main hingga mengantuk.

Malam menjelang. Jam 9 malam belum ada tanda-tanda Safa mengantuk. Jam 10 malam, masih asyik dengan buku dan mainannya. Jam 10.30 malam, menggaruk-garuk rambutnya, tanda ia mulai mengantuk. Jam 11 malam, minta mimi susu dengan suara setengah menangis. Jam 11.10 malam, sambil minum susu dengan posisi berbaring minta Barneynya di putarkan. Bunda bilang “sudah malam Nak, Barney nya sudah dibereskan, malam waktunya bobo”. Barney tidak disetujui maka Safa minta yang lain. “Kaka”, artinya safa minta diputarkan video lagu TK yang dinyanyikan oleh anak-anak yang lebih tua darinya. Bunda pun tidak menyerah “Kakaknya cape, Sayang. Kakak juga pasti ingin bobo kalau malam”. Semakin keras lah tangisannya. Siapapun tidak berhasil membujuknya tidur. Bagaimana pun kami tidak mau menyerah, kami boleh begadang menemani Safa yang menangis semalaman tidak bisa tidur selama beberapa hari, jika memang itu harga yang harus dibayar untuk menyelamatkan jiwa dan mentalnya di kemudian hari. Inginnya sih tidak ada TV di rumah, tapi kami masih merasa TV bisa jadi hiburan sesaat, tinggal bagaimana saja memenej nya dengan tepat (walau kadang tetap saja merasa seperti pembenaran).

2, 3, 4 Januari 2012, Safa berhasil tidak nonton seharian. Setiap dia ingin menonton, kami alihkan perhatiannya pada mainan atau mengajaknya jalan-jalan keluar. Menjelang malam pun kami tetap menemaninya bermain, sambil sesekali menawarkannya minum susu atau bobo. Sempat saya merasa kesal. Karena sudah sangat lelah, saya tidak menghiraukan ajakannya bermain. Saya berbaring, tidak bergeming. Safa mengajak senyum pun, saya diam, tidak sedikit pun paras wajah saya berubah. Masya allah, hati Safa pasti terluka. Si kecil yang masih semangat bermain, berdiri di hadapan saya yang berbaring, tertawa tiba-tiba, seperti dipaksakan agar Bundanya tetap semangat dan bangkit menemaninya, ternyata hanya mendapatkan wajah dingin Bundanya. Sungguh saya malu sekali, malu karena begitu egois. Ingin safa mengerti kenapa Bundanya bersikap seperti itu. Tapi anak kecil, mana bisa ia berpikir sebab akibat sampai tingkat penyebab yang tertinggi. Mana mungkin ia akan keras berpikir “kenapa bunda wajahnya jelek, pasti karena safa gak mau tidur”. Mungkin yang ia simpulkan hanya “wajah bunda jelek, bunda gak mau diajak main”. Astagfirullah, semoga Allah memaafkan sikap saya kemarin. Maafkan, ya Rabb.

Safa Sholat

Hari ini, hari jum’at, hari ketiganya disapih menonton tv. Perjuangan mungkin masih lama atau buahnya akan dinikmati sebentar lagi, wallahualam. Insya allah dengan selalu menambah informasi, diskusi antara ayah dan bunda, berikhtiar, teguh dan berdoa maka proses menyapih dan mendidik Safa akan berjalan dengan baik. Semoga.

Detik menjadi Ibu

Malam itu tanggal 18 Desember, saya merasakan mulas yang begitu kuat. Dari jam 11 malam, rasa mulas itu timbul akibat kontraksi yang berlangsung rutin 5 menit sekali dengan lama kontraksi sekitar 50 menit. Jam 1 malam, saya dan suami memutuskan untuk pergi ke rumah sakit Mitra Keluarga Depok. Bidan jaga kemudian memeriksa tingkat pembukaan jalan lahir saya yang ternyata masih pembukaan 2. Kemudian dilakukan CTG atau pemeriksaan jantung bayi selama 20 menit. Karena pergerakan janin kurang aktif saat itu, bidan memberi saya oksigen untuk dihirup selama 1 jam lalu dilakukan pemeriksaan CTG kembali. Saat itu jam 4 pagi, saya dipindahkan ke ruang rawat inap sambil menunggu pembukaan beranjak meningkat.

Hingga pukul 7 pagi, saya baru sampai pada tingkat pembukaan 5. Setelah itu saya kembali ke ruang bersalin untuk menunggu sampai pembukaan lengkap. Karena mulas yang saya alami masih lemah sehingga pembukaan meningkat dalam waktu yang cukup lama, maka setelah berkonsultasi dengan dokter kandungan saya lewat telepon, bidan memberi saya obat untuk induksi kontraksi. Saat itu dokter memang tidak berada di tempat, sehingga untuk proses pembukaan saya dibantu oleh para bidan jaga. Tidak hanya diinduksi melalui infus, ketuban saya juga dipecahkan untuk merangsang kontraksi.

Setelah diinduksi saya mulai merasakan kontraksi yang lebih kuat dan durasinya lama setiap sekitar 2 menit sekali. Pernah karena saking tidak kuat menahan rasa sakit, saya sempat menendang besi tempat tidur di kampar bersalin. Dengan bantuan induksi, jam 8 saya sudah sampai pada tingkat pembukaan 8. Saat itu dokter ahli kandungan saya baru saja tiba. Menjelang pembukaan lengkap, kontraksi semakin kuat dan rasa ingin mengejan semakin besar. Bu bidan mengingatkan saya untuk melakukan posisi persalinan litotomi seperti yang telah diajarkan di kelas senam hamil.

Dengan sigap, suami saya juga membantu untuk mengangkat kepala saya saat mengejan. Jadi tekniknya, dalam posisi terlentang atau setengah duduk, angkat kedua kaki dan kaitkan dengan lengan hingga batas siku. Setelah itu tarik nafas panjang, kepala diangkat, mengejan dengan kuat sambil melihat perut, lalu buang nafas lewat mulut. Meskipun saya sudah ikut kelas hamil sebanyak 6 kali pertemuan, ternyata pada hari-H rasa panik membuat saya lupa akan teori-teori tersebut. Rasa mulas pun muncul ketika pembukaan lengkap, dan dokter bersama bidan meminta saya untuk mengejan.

Saya mengejan sebanyak 6 kali hingga akhirnya bayi mungil itu keluar. Suara tangis pun pecah dan saya merasa lega, alhamdulillah. Sungguh suatu momen perjuangan alamiah yang sangat berat sehingga pantas orang-orang  menyebut proses melahirkan seperti antara hidup dan mati.

Tapi ternyata rasa sakit yang lebih hebat lagi terjadi pasca melahirkan. Ada bagian ari-ari dalam rahim saya yang tertinggal, menempel pada rahim. Dokter kemudian mengambil potongan ari-ari itu dengan cara memasukkan seluruh tangannya ke dalam rahim saya. Masya Allah, pada saat itu saya menjerit tak kuasa menahan sakit. Setelah bayi keluar, lalu kemudian IMD (Inisiasi Menyusui Dini), saya pun harus dijahit. Itu karena saya mengejan terlalu cepat sehingga otot perineum robek. Padahal beberapa kali pada trimester akhir saya coba belajar senam perineum di rumah untuk melenturkan otot tersebut ketika melahirkan.

Kemudian dokter dengan sigap menyuntikkan 3 ampul obat bius lokal. Saat jarumnya menyentuh kulit, entah kenapa saya merasa obat bius lokal tersebut tidak mempan, sebab rasanya masih sakit. Dan secara refleks, otot-otot yang akan dijahit mejadi kaku sehingga menyulitkan dokter untuk menjahitnya. Berkali-kali dokter menyuruh saya untuk rileks. Namun tetap saja saya tidak bisa rileks hingga akhirnya dokter ’mengancam’ dengan menawarkan saya 2 pilihan, yaitu rileks karena saya sudah dibius lokal sebanyak 3 ampul sehingga rasa sakit akan berkurang atau bius total tapi tidak akan bisa menyusui bayi dalam waktu yang lama.

Mendengar ’ancaman’ tersebut, saya tentu memilih opsi pertama, saya paksakan otot saya rileks. Jutaan energi positif saya coba hadirkan untuk membantu, sambil tak henti meminta kekuatan kepada Allah. Proses menjahit pun berlangsung cukup cepat dan alhamdulillah selesai sekitar pukul 9.15.

Seharusnya pada persalinan normal, ibu yang habis melahirkan harus sudah bisa jalan untuk menengok bayinya. Tapi karena tensi saya sempat drop, 90/60 mmHg, dan juga masih terasa pening, saya baru bisa bangun pada pukul 13.00. Pada waktu itu saya diantar ke ruang rawat inap dan beberapa jam setelahnya, bayi mungil itu pun diantar untuk memenuhi kerinduan keluarganya yang menunggu di kamar saat itu. Rasa rindu pun terbayar sudah..karena bersama akan lebih indah.

Selamat datang di dunia, putriku sayang.. [ ibumu ]

@triandika

9 Bulan Menjalin Kisah

Berawal dari pertemuan kami di sebuah mesjid di kota Bandung, tempat dimana akad diucapkan, disaksikan puluhan pasang mata yang ikhlas datang tuk memberi doa restu. Hari itu, tanggal 1 Februari 2009, kami mengikat janji, mengambil amanah untuk menjadi sepasang suami istri.

Kehidupan rumah tangga pun dimulai. Begitu manis, begitulah mungkin tahun-tahun pertama yang dirasakan oleh setiap pengantin baru. Hari berganti hari, karakter masing-masing mulai tampak jelas. Kebiasaan, cara mengambil keputusan, respon terhadap sebuah permasalahan, hingga manajemen waktu pun mulai membuka mata istri dan suami. Di tahun pertama pernikahan, atau bahkan mungkin seumur hidup, pekerjaan suami dan istri dalam rumah tangga adalah saling beradaptasi.

Positif!Pertengahan April 2009, setelah seminggu saya terlambat datang bulan, saya tes kehamilan dengan test pack. Malam itu sekitar jam 3, saya terbangun dan segera mengambil sampel urin pertama. Setelah beberapa menit, 2 garis berwarna merah pun muncul. Bergegas saya sampaikan hal ini pada mas Trian dengan tangan yang gemetar memegang test pack yang positif tersebut. Air mata pun jatuh berderai. Saya memeluknya erat seolah meminta agar ia menyadarkan saya bahwa ini bukanlah mimpi. “Alhamdulillah..”. Hanya itu kata yang keluar dari bibirnya. Terasa detak jantungnya semakin kuat dan nafasnya tertahan, bersusah payah menenangkan saya dan mencegah air matanya tak tertumpah. Benarkah secepat ini kami diberi kepercayaan menjadi orang tua, benarkah, pantaskah? Tapi bukankah salah satu tujuan pernikahan itu adalah untuk melestarikan keturunan? Agar kelak generasi masa depan lebih baik dari generasi kami. Dalam hening subuh kami hanyut dengan perasaan kami sendiri. Bahagia, ya, kami bahagia..

Beberapa hari setelah itu, kami pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungan. Disana, di monitor USG, kami melihat sebuah titik hitam yang menunjukkan ada calon manusia berada dalam rahim saya. Ini memang bukan mimpi, ini nyata. Dengan minimnya pengalaman kami, dan juga kota depok adalah kota yang baru bagi kami, maka untuk memilih dokter dan rumah sakit bersalin, kami mengandalkan internet dan juga nasehat dari saudara yang sudah lama tinggal di depok. Dengan pertimbangan berupa biaya, jarak, fasilitas, kebijakan rumah sakit tentang IMD dan rawat gabung akhirnya kami menjatuhkan pilihan pada rumah sakit Mitra Keluarga, dengan dr.Sintha Utami sebagai konsultan. Setiap bulan kami rutin memeriksakan kandungan. Melalui USG kami bisa melihat kondisi bayi kami, detak jantungnya dan panjang tubuhnya. Pada bulan-bulan mendatang, melalui USG, informasi mengenai berat janin sudah mulai ketahuan. Dokter hanya membuat garis-garis pada bagian yang katanya kepala dan perut. Keluarlah angka-angka dan singkatan-singkatan yang jika dikombinasikan akan memberi informasi berat janin. Saya ingin sekali bertanya tentang singkatan-singkatan itu, namun rasanya dokter akan mengira hal itu tidak penting untuk ditanyakan. Yang penting bagi seorang wanita hamil adalah tahu janinnya normal dan baik-baik saja. Sepulang ke rumah, saya segera menjelajahi internet untuk mempelajari singkatan-singkatan itu. Inilah informasi yang saya dapatkan :

CRL (Crown Rump Length) : Ukuran jarak dari puncak kepala ke ’ekor’ bayi untuk mengukur usia kehamilan trimester 1.

BPD (Biparietal Diameter) : Ukuran diameter tulang pelipis kiri dan kanan, untuk mengukur usia kehamilan trimester 2 dan 3.

FL (Femur Length) : Ukuran panjang tulang paha bayi. Untuk mengukur usia kehamilan trimester 2 dan 3.

AC (Abdonimar circum ferencial) : Ukuran lingkar perut bayi. Untuk mengukur usia kehamilan trimester 2 dan 3.

Jika AC dikombinasikan dengan FL dan BPD akan menghasilkan perkiraan berat bayi (EFW).

Picture1

Picture2

Picture3

Bagi para calon ibu hendaknya memiliki tabel perkembangan janin yang dapat diunduh di internet atau di buku-buku perkembangan janin dalam kandungan. Selain itu, mempersiapkan bahan konsultasi sejak dari rumah juga diperlukan terutama bagi calon ibu yang kesulitan berimprovisasi dalam konsultasi spontan dengan dokter, seperti saya :). Hal-hal yang sepele pun juga lebih baik ditanyakan daripada dipendam dan menyesal setelah sampai rumah.

Bulan Ramadhan, tepatnya 11 September 2009, saya check up rutin ke dokter. Kali ini tidak diantar mas Trian seperti biasanya, tapi ditemani ibu. Saat itu usia kandungan telah mencapai 179 hari atau sekitar 6 bulan. Saat pemeriksaan berlangsung, dokter menemukan keganjalan. Ia mengatakan ada pelebaran ventrikel lateral sekitar 0,97 cm. Kontan saya kaget dibuatnya. Saya menebak ada kelainan jantung karena dokter menyebut istilah ventrikel. Ternyata yang dimaksud dengan ventrikel adalah bagian dari otak. Oleh karena itu saya diminta untuk tes TORCH yang biayanya cukup mahal, sekitar 1,6 juta. Sepulang dari dokter, seperti biasa saya mencari informasi di internet tentang pelebaran ventrikel lateral. Sungguh apa yang saya peroleh dari internet membuat saya tercengang, takut tak terkatakan. Pelebaran ventrikel lateral, apalagi jika sudah sampai 10 mm dapat menyebabkan hidrosefalus. Hidrosefalus?? Dan pelebaran ventrikel lateral salah satunya disebabkan oleh infeksi toksoplasma, karena itu dokter meminta saya tes TORCH. Dunia serasa sempit dan gelap. Mengutuk diri sendiri karena telah teledor menjaga kesehatan ‘si kecil’. Makanan apa yang telah saya makan, zat kimia berbahaya apa yang telah saya telan, benarkah karena aktivitas di laboratorium selama ini, benarkah karena saya sering pp depok-bandung? Seharusnya saya mendengar nasehat teman-teman untuk berhati-hati menjaga kandungan. Astagfirullah, hari itu betapa saya merasa bersalah. Sepanjang malam terus mengusap perut sambil berdoa agar apa yang saya takutkan tidak terjadi. Ya Rabb, maafkan hamba..

1 minggu berlalu dan hasil pemeriksaan TORCH keluar. IgM semuanya negatif, sedangkan IgG positif dan HI avidity. Hasil pemeriksaan USG berikutnya pun Alhamdulillah tidak ditemukan pelebaran ventrikel lagi. Subhanallah..

Bagi para calon ibu, hendaknya selalu memperhatikan makanan yang dimakan setiap hari. Perhatikan tingkat kematangan dan kebersihannya. Hindari steak yang digoreng setengah matang, hindari jajanan yang higienitasnya diragukan, hindari sayuran yang belum dimasak.. Jika ada waktu dan rezeki, jangan lupa untuk memeriksa TORCH di lab-lab rumah sakit.

Hari ini, usia kandungan saya telah mencapai 33 minggu atau sekitar 8 bulan. Artinya telah 9 bulan kami merangkai kisah. Hari-hari menjelang persalinan mungkin tidak akan terasa. Beberapa teman silih berganti menyampaikan kabar gembira mengenai kelahiran putra dan putri mereka. Begitu banyak cerita yang mereka bagi dan semoga kami bisa mengambil pelajaran.. Mohon doa dari rekan-rekan agar kami diberi kesabaran, keikhlasan dan rasa kasih sayang dalam mendidik putra/i kami kelak.  Begitu pun dengan rekan-rekan yang telah mendahului kami..Dan yang antri di belakang kami 🙂

triandika.net

What’s Next

Alhamdulillah, setelah melalui serangkaian uji argumentasi dalam aula hikmah, dengan seminar dan sidang, akhirnya momen yang dinanti-nanti oleh setiap mahasiswa pun tiba, wisuda. Bersama dengan 400 mahasiswa pasca sarjana lainnya, saya dilantik menjadi magister pada tanggal 23 Oktober 2009. Ada sebuah keharuan karena untuk mencapai tahap ini perlu upaya yang sangat menguras tenaga, pikiran dan perasaan. Tak jarang harus pulang pergi bandung-depok untuk menemui suami yang bekerja dengan system 2 minggu on site dan 2 minggu off, harus juga pulang pergi bandung-jakarta untuk menganalisis sampel di labkesda jakarta timur, mengerjakan project dosen sambil mempelajari instrumen analisis di farmasi, pulang maghrib, pergi pagi, hamil. Alhamdulillah, betapa leganya ketika semua berhasil dilewati dan diakhiri dengan manis. Namun ada juga sebuah tanya, what’s next? Ya, lalu apa yang akan saya lakukan setelah memperoleh gelar ini. Bermacam-macam rencana pun dibuat sebelum toga ini dikenakan. Rencana untuk terus beraktivitas, terus belajar, terus bermanfaat. Namun rencana-rencana itu sempat tertunda karena pertimbangan kehamilan yang sudah masuk bulan tua. Jika rencana itu terlaksana maka akan ada yang dikorbankan, sekilas terpikir seperti itu. Namun meski rencana belum terlaksana sekarang, bukan berarti puasa aktivitas, setidaknya itu komitmen yang dibangun saat saya berdiskusi dengan suami. Hamil bukanlah sebuah penghalang bagi wanita untuk terus berkarya dan bermanfaat. Dan pilihan untuk beraktivitas hendaknya disesuaikan dengan kondisi masing-masing calon bunda.

DSCN0318
Wisuda kali ini memang berbeda. Gedung yang biasa dipadati oleh sekitar 3000 orang yang terdiri dari 1000 wisudawan dan 2000 undangan, kini hanya diisi oleh sekitar 1200 orang saja, karena ada pemisahan waktu wisuda sarjana dan pasca sarjana. Lebih cepat dan hikmat. Meski acaranya sama dengan model wisuda tahun-tahun sebelumnya, para wisudawan dan undangan terkesan menikmati acara ini. Berbagai prestasi yang diraih oleh mahasiswa-mahasiswi ITB disampaikan dalam sambutan rektor, kemudian disambut dengan riuh tepuk tangan. Kagum dengan capaian anak bangsa yang menembus dunia internasional dalam ajang persaingan teknologi, budaya dan seni. Dalam buramnya potret kehidupan pemuda indonesia, masih ada secercah terang dari lilin yang dinyalakan oleh para pemuda harapan bangsa. Berbagai judul tesis dan disertasi menghiasi buku wisuda. Berharap judul-judul itu tidak hanya sekedar kalimat yang menjejali rak-rak perpustakaan ITB, tapi juga menjelma menjadi produk-produk yang memasyarakat.

DSCN0324

Beberapa rekan telah siap-siap pulang ke daerahnya masing-masing untuk melanjutkan kerja. Ya memang sebagian besar mahasiswa S2 si Farmasi adalah dosen di universitas-universitas negeri dan swasta di berbagai daerah yang mendapat beasiswa. Ada juga rekan yang setelah diwisuda, keesokan harinya ikut psikotes CPNs. Mungkin sedikit saja mahasiswa yang menganggur pasca wisuda, karena hampir 80% (agaknya) telah bekerja sebelum kuliah. Dan saya termasuk yang sedikit itu. Mudah-mudahan kelak ketika bayi kami lahir dan sudah siap untuk ditinggal ibunya bekerja, rencana-rencana aktivitas bisa terlaksana.amin

Ngomong-ngomong tentang pascasarjana, saya teringat dengan pertanyaan seorang adik kelas yang diajukan pada saya dan beberapa rekan S2. “teteh kuliah S2 mau jadi dosen ya?”, tanyanya. Jawaban pun berbeda-beda antara satu dengan yang lain. Namun saya terkesan dengan jawaban seorang teteh yang menggambarkan misinya mengikuti kuliah S2. Jawabnya adalah “Gak, saya gak bermaksud menjadi dosen. Saya kuliah lagi untuk mengembangkan pola pikir saya. Untuk anak saya”. Dengan kuliah, sang ibu berharap bisa lebih maju, lebih berwawasan, lebih terstruktur, lebih bijak, sehingga kelak itu bisa menjadi modal baginya dalam mendidik putra-putrinya. Memang bukan sebuah jaminan bagi seorang wanita dengan pendidikan lebih tinggi akan mencetak generasi yang lebih baik. Namun apa yang ia pelajari di bangku kuliah pascasarjana, ditambah dengan up date informasi terkini seputar pendidikan anak, bisa menjadi nilai tambah.

Wisuda memang sudah selesai, tapi janji yang dikumandangkan masih terus menggema.”…untuk terus menuntut ilmu…dengan ketekunan dan kesadaran…bagi kesejahteraan bangsa Indonesia..”.